Ini bukanlah pertama kalinya aku pergi jauh dan bukan
pertama kalinya aku sendiri. Disaat kerisauan datang dari penat yang
bertubi-tubi, disaat bahagia muncul dari segala penjuru kehidupan terutama
hati, disitulah aku mulai berfikir ulang, menyegarkan harapanku tentang
kekuatan doa-doa. Ketakutan tentang sebuah kata “Kembali”. Fikiranku melayang
ke udara, berhembus dibawa partikel-partikel debu dan menempel ke air, tanah,
bangunan, hidung dan tenggorokan yang dikeluarkan lagi menjadi sampah.
Kegundahan akan seberapa lamanya tak berpelukan dengan keluarga, sahabat, teman
dan yang menyesakkan yaitu cinta, ya ya cintaku yang menyebalkan, cintaku yang
cincirimin, cintaku yang ngangenin, cintaku yang tidak tau alasannya mengapa
engkau bisa kusebut cinta. Disaat aku berjuang untuk beribadah “man jadda wa
jadda” di negeri yang kusebut dengan nama Borneo, inilah kesungguhan hati yang
sebenarnya. Mengerahkan dengan segala doa, kekuatan, pikiran, gaya,
nasionalisme, rasa, karsa, tangis, tawa, materil dan segala aspek yang lain.
Tapi... aku berterima kasih kepada Allah SWT yang
selalu melindungiku, menjagaku, menyayangiku, memelukku dalam kondisi apapun.
Itulah mengapa aku paham kata “Merantau”. Merantaulah yang jauh agar kau tambah
ilmu, merantaulah yang jauh agar kau semakin kuat, merantaulah yang jauh agar
kau beribadah dan mengerti akan uniknya kehidupan, merantaulah yang jauh untuk
memahami makna silaturahim, merantaulah yang jauh seberapa pentingnya dirimu
dimata mereka yang engaku tinggalkan, merantaulah yang jauh agar tau seberapa
besar nikmat Allah SWT yang sudah digelontorkan secara cuma-cuma kepada
manusia-manusia dibumiNya.
Di sini hmm ya ya ya... di sini, serasa inilah
kebebasan, masih sedikit perjalananku untuk mengenal Kota Seribu Sungai,
carilah di peta, internet, koran atau majalah apa itu Kota Seribu Sungai.
Banyak orang mengatakan jika sudah meminum air di tempat ini, maka sulit untuk
pulang ke daerah asal, tapi bagaimana lagi inilah mitos, tapi aku percaya pada
Allah SWT dan pada rasa cintaku yang akan membawaku. Aku tak ingin
menyia-nyiakan dan disia-siakan, aku perlu jalan-jalan untuk mencari makna
kehidupan yang sesungguhnya, memanfaatkan sumber daya yang ada, mungkin inilah
yang disebut “Perempuan Pencari Tuhan”. Tapi disela perjalanan, ku ucapkan
terima kasih kembali kepada Allah SWT dan tak lupa kepada Bapak Ketua “ASP”,
tanpa rejeki dari Allah SWT melalui beliau aku tak mengira akan mendapatkan
pengalaman yang akan membuat inspirasiku menulis lagi dan memetik buah kehidupan.
*******************************************
Pertama kali aku
datang, perlu waktu untuk beradaptasi, ya ya ya responsibilitas. Adaptasilah
dengan orang-orang baru, di sini aku dihadapkan dengan keberagaman suku,
budaya, ras, agama, bahasa dan adat yang berbeda. Suku Banjar “Urang Banjar”,
suku yang mendiami dan berkonsentrasi di Provinsi Kalsel, Kalteng, dan Kaltim, mereka
merupakan percampuran orang-orang melayu Bahan, Barito, Tabanio dan Martapura
yang jejak akarnya dari Sumatera. Suku Banjar dibagi menjadi tiga sub suku,
yaitu suku Banjar Pahuluan, Suku Banjar Batang Banyu, dan Suku Banjar Kuala.
Suku Banjar Pahuluan merupakan penduduk di daerah-daerah lembah sungai yang
berhulu ke Pegunungan Meratus (campuran melayu dan dayak). Sedangkan Suku
Banjar Batang Banyu mendiami lembah Sungai Negara (campuran melayu, dayak dan
pendatang dari Jawa). Sementara itu, Suku Banjar Kuala mendiami sekitar
Banjarmasin serta Martapura (campuran melayu, dayak dan pendatang dari Jawa).
Karena merupakan kombinasi dari orang-orang melayu, bahasanya pun
terkontaminasi antara bahasa Melayu, Dayak dan Jawa. Ada persamaan kata yang
dipakai antara Bahasa Banjar dengan Bahasa Jawa, antara lain: Banyu (air),
Lawang (pintu), Inggih (ya/ setuju). Kata itu sama yang di pakai di Bahasa Jawa
bukan??? Agama mayoritas di Kota Seribu Sungai adalah beragama islam jadi
banyak dijumpai Masjid di sini.
Ingat kepada
Allah SWT mebentukku mencintai apa yang ku punya dan mensyukuri pemberianNya.
Sampai detik ini menulis artikel, masih saja aku menyesuaikan diri dengan iklim
di Kota Seribu Sungai. Berada di bagian tenggara Pulau Borneo, memiliki kawasan
dataran rendah di bagian barat dan pantai timur, serta dataran tinggi yang
dibentuk oleh Pegunungan Meratus di tengah. Dataran rendah berupa lahan gambut
hingga rawa-rawa sehingga banyak sumber daya ikan air tawar di sini, antara
lain: ikan haruan, sepat, bilis, dll. Sedangkan di dataran tinggi merupakan
hutan konservatif berupa hutan tropis yang dilindungi. Jika cuaca panas,
teriknya matahari menyengat tak heran jika kebakaran hutan tiba-tiba terjadi di
sini seperti yang terjadi di bulan Agustus-Oktober 2014 lalu, menyebabkan
polusi udara di mana-mana. Namun jika pada musim hujan, intensitas air begitu
derasnya dan sebelum turun jujan membentuk gumpalan awan yang kelam diiringi
angin yang dingin, kemudian cuaca tiba-tiba dapat berubah menjadi cerah
seketika. Itulah uniknya Borneo.
Mengapa
disebut Kota Seribu Sungai?? Dan tak heran jika orang-orang menyebutnya daerah
basah. Provinsi ini terdiri dari 13 Kabupaten/ kota, dan tiap kabupaten terdapat
sungai yang beraneka macam namanya, baik sungai kecil maupun sungai besar membentuk
labirin atau kanal-kanal. Aku memetik pelajaran yang berharga ketika menyusuri
sungai besar Martapura, berangkat dari halte perahu klotok di daerah Museum
Wasaka Port “Waja Sampai Kaputing-Kayuh Baimbai” (Berusaha sampai Tuntas, tidak
boleh putus asa karena dikerjakan dengan bergotong royong). Tujuannya untuk
mengekspolari apa yang tidak aku ketahui disepanjang sungai Martapura yang
lebar nan panjang. Museum ini berada di bawah jembatan panjang Banua Anyar yang
melentang kokoh dan bertengger di atas Sungai Martapura.
Di dalam museum disuguhkan peninggalan-peninggalan
perjuangan rakyat Kota Seribu Sungai melawan penjajah kala itu, terdapat
miniatur/ diorama, senjata tradisional, pakaian perang, dll. Museum Wasaka
memiliki banguna panggung yang kokoh, terbuat dari pondasi kayu ditambah terletak
dipinggir sungai menambah uniknya arsitektur, juga jendela-jendela kayu yang
besar menakjubkan ketradisionalnya.
Museum Wasaka Port Waja sampai kaputing |
Dari Museum
Wasaka Port, aku melanjutkan perjalanan menyusuri Sungai Martapura, dari halte
perahu kelotok di depan Museum kami menyewa perahu seharga Rp 300.000,- (tiga
ratus ribu rupiah), perahu kelotok yang bisa diisi 10-15 orang itu membawaku berpetualang.
Sungai yang tenang tapi berarus deras itu berwarna keruh, namun di dalamnya
menyimpan keaneka ragaman hayati yang luar biasa selain digunakan sebagai
sarana transportasi air yang cukup memadai. Di samping kanan kiri tepi sungai
masih terlihat rumah penduduk, ada yang kokoh dan ada juga yang sudah reot,
semua memakai rumah panggung berpondasikan kayu ulin. Masyarakat di sini
menggunakan air sungai untuk keperluan sehari-hari seperti mencuci, mandi, dan
bermain, bahkan dimanfaatkan untuk sarana olahraga dayung, SubhanaAllah. Setelah berjalan sejauh 1,5 kilometer perahu kelotok
itu berhenti di salah satu pasar terapung tradisional Lok Baintan. Aktifitas
jual beli di pasar dilakukan di atas perahu sampan “Jukung”, kebanyakan yang
dijual berupa buah-buahan tropis, sayuran, jajanan tradisional dan tanaman
hias. Hikmah yang luar biasa dipetik setelah apa yang dilihat adalah semua
penjual itu “Perempuan”. Perempuan mendayung jukung di sungai lebar berarus
deras, menyetir agar perahunya mendekati pembeli kemudian menjaga keseimbangan
antara tubuh dan barang dagangannya, itu luar biasa!!!! Perempuan-perempuan
Suku Banjar mengajariku apa itu ketangguhan. Mereka melakukan itu demi masa
depan; demi menjemput rejeki dari Allah SWT; demi nikmat kesabaran dari Allah
SWT akan kerja keras, pantang menyerah dan mencintai keluarga; demi menikmati
kehidupan yang sudah disuguhkan Allah SWT.
Teringat akan
sosok ibu yang jauh di tanah Jawa, yang kadang menutupi keadaan sesungguhnya.
Begitu macam pertanyaan erotis di otak dan perasaanku, “Apakah kau baik-baik
saja di sana? Bagaimana perasaanmu?” Ku lihat salah satu penjual buah jeruk
yang sudah tua renta sekitar 70 tahun, bisa jadi beliau seumuran dengan
nenekku, kulitnya yang mengendur meminta perasaanku untuk mendekatkan perahu
kelotok ke arahnya. Wajahnya yang dipupuri bedak adem (bedak dari tepung beras)
dan melihat senyumnya penuh ikhlas dibalik kerudung. Sayup matanya yang lugu
membuatku membalas senyumnya. Sistem mereka berjualan tidak mengenal per ons,
per gram, atau per kilo melainkan per buah. Satu buah dijual Rp 1.000,-, bikin
geleng-geleng bukan?? Tangan-tangan kuat mereka patut diacungi jempol, bagaimana
jika wanita indonesia kuat seperti itu, mencerdaskan anak-anak dengan
kesabaran, menyayangi dengan keikhlasan, pasti suatu saat indonesia akan maju
dengan kecepatan perkembangannya yang mumpuni.
Meneruskan
perjalanan di sungai yang berkelok-kelok, kanan kiri sungai tertutup pohon
rumbia, ketakutan akan binatang yang tiba-tiba muncul, ahhhh itu hanya pikiran
negatif saja. Tak lama kemudian, aku tiba di desa Alalak, di sini lah pusat pengolahan
kayu-kayu Borneo berada, banyak kapal-kapal tongkang yang mengangkut batu bara
serta kayu. Masih mimpi aku berada di sini, ini lah Borneo?? Aku berpetualang!!
My Trip My Adventure (seperti program acara di salah satu station televisi).
Mataku terbuka lebar, bahwa Allah SWT memberiku kesempatan yang luar bisa untuk
mensyukuri ciptaanNya. Agar aku menambah wawasan, pengalaman, dengan
keikhlasan, aku yang berwibawa tanpa menggerutu ini itu.
Alalak, Kecamatan Barito Kuala |
Setelah melewai hilir sungai Martapura barulah
sampai ke Sungai Barito, tibalah aku di Sungai yang luas, lebar, bikin kaki
tangan bergidik, seperti lautan keruh cokelat susu tanpa batas, berarus deras
dan berombak, banyak kapal tongkang berlalu lalang, ini itu laut atau sungai
pikirku!!! Sungai Barito ya ya ya sungai Barito dengan panjang 900 Km, lebar
kurang lebih 730 M dengan kedalaman 14-15 meter, Subhanallah, pantas saja merinding jadinya, jangan berharap jika
perahu kelotok mesin mati ditengah-tengah atau kehabisan bensin, ngeri sekali, Astagfirullah Haladzim.
Menujulah aku ke
Pulau Kembang, pulau yang terletak di Delta Sungai Barito, kecamatan Alalak,
Kabupaten Barito Kuala. Pulau Kembang merupakan Pulau habitat kera berekor panjang,
kata orang ada beberapa burung, tapi waktu aku di sana hanya mendengar suara
burung yang menyayat hati heheh. Di dalamnya terdapat jalan setapak yang
dikelilingi pohon rumbia lebat, banyak kera yang berlalu lalang karena
ekosistemnya masih alami, tak heran jika kera-kera itu berkeliaran atau bergelantungan seenaknya dan kadang bertindak
agresif. Kera-kera itu dipimpin oleh kera besar yang biasa disebut tumang dan
mereka membentuk suatu koloni, Alhamdulillahnya, aku berjumpa dengan si tumang
itu, memang besar sekali lho diantara kera-kera yang lain.
Pulau Kembang |
Pintu Masuk Pulau Kembang |
Itulah salah satu dari bberapa perjalanan yang bisa
membuatku bebas. Allah SWT telah menyajikan segalanya, tapi kadang aku lupa
bersyukur, yang ada hanya kegundahan tiada makna. Pasrahkan ke Allah SWT bahwa
Dia sudah menyiapkannya yang paling baik untuk kita. Walaupun sebagai manusia
biasa, masih diselimuti kegaduhan hati. Merantaulah dengan bijaksana,
merantaulah dengan tangguh, merantaulah dengan jujur, merantaulah dengan senang
hati. Jika aku belum bertemu denganmu cinta, biarlah cintamu yang menemukanku,
dan jika kau mencintaiku karena Allah SWT maka cintamu berlandaskan surga yang
akan kau temukan diakhirat.
Salam kangen
dariku dari tanah Borneo untuk mu, untuk kalian dan untuk mereka. Perjalanan
ini masih panjang dan penuh harapan, banyak doa-doa yang terbesit, semoga apa
yang dicita-citakan dapat terlaksana, dan segala impian akan tepat diberikan
sesuai dengan porsinya oleh Allah SWT karena Dia tau apa yang kita butuhkan.
Titip Rindu yang menggebu, karena suatu saat pasti akan bertemu. Jangan Gundah,
biarkan hatiku yang gundah, jangan menangis biarlah aku yang menagis karena
apa?? Karena aku tangguh, karena aku bisa, karena aku Perempuan......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar