Minggu, 07 Desember 2014

TANAH RANTAU BORNEO

Ini bukanlah pertama kalinya aku pergi jauh dan bukan pertama kalinya aku sendiri. Disaat kerisauan datang dari penat yang bertubi-tubi, disaat bahagia muncul dari segala penjuru kehidupan terutama hati, disitulah aku mulai berfikir ulang, menyegarkan harapanku tentang kekuatan doa-doa. Ketakutan tentang sebuah kata “Kembali”. Fikiranku melayang ke udara, berhembus dibawa partikel-partikel debu dan menempel ke air, tanah, bangunan, hidung dan tenggorokan yang dikeluarkan lagi menjadi sampah. Kegundahan akan seberapa lamanya tak berpelukan dengan keluarga, sahabat, teman dan yang menyesakkan yaitu cinta, ya ya cintaku yang menyebalkan, cintaku yang cincirimin, cintaku yang ngangenin, cintaku yang tidak tau alasannya mengapa engkau bisa kusebut cinta. Disaat aku berjuang untuk beribadah “man jadda wa jadda” di negeri yang kusebut dengan nama Borneo, inilah kesungguhan hati yang sebenarnya. Mengerahkan dengan segala doa, kekuatan, pikiran, gaya, nasionalisme, rasa, karsa, tangis, tawa, materil dan segala aspek yang lain.

Tapi... aku berterima kasih kepada Allah SWT yang selalu melindungiku, menjagaku, menyayangiku, memelukku dalam kondisi apapun. Itulah mengapa aku paham kata “Merantau”. Merantaulah yang jauh agar kau tambah ilmu, merantaulah yang jauh agar kau semakin kuat, merantaulah yang jauh agar kau beribadah dan mengerti akan uniknya kehidupan, merantaulah yang jauh untuk memahami makna silaturahim, merantaulah yang jauh seberapa pentingnya dirimu dimata mereka yang engaku tinggalkan, merantaulah yang jauh agar tau seberapa besar nikmat Allah SWT yang sudah digelontorkan secara cuma-cuma kepada manusia-manusia dibumiNya.

Di sini hmm ya ya ya... di sini, serasa inilah kebebasan, masih sedikit perjalananku untuk mengenal Kota Seribu Sungai, carilah di peta, internet, koran atau majalah apa itu Kota Seribu Sungai. Banyak orang mengatakan jika sudah meminum air di tempat ini, maka sulit untuk pulang ke daerah asal, tapi bagaimana lagi inilah mitos, tapi aku percaya pada Allah SWT dan pada rasa cintaku yang akan membawaku. Aku tak ingin menyia-nyiakan dan disia-siakan, aku perlu jalan-jalan untuk mencari makna kehidupan yang sesungguhnya, memanfaatkan sumber daya yang ada, mungkin inilah yang disebut “Perempuan Pencari Tuhan”. Tapi disela perjalanan, ku ucapkan terima kasih kembali kepada Allah SWT dan tak lupa kepada Bapak Ketua “ASP”, tanpa rejeki dari Allah SWT melalui beliau aku tak mengira akan mendapatkan pengalaman yang akan membuat inspirasiku menulis lagi dan memetik buah kehidupan.
*******************************************
                Pertama kali aku datang, perlu waktu untuk beradaptasi, ya ya ya responsibilitas. Adaptasilah dengan orang-orang baru, di sini aku dihadapkan dengan keberagaman suku, budaya, ras, agama, bahasa dan adat yang berbeda. Suku Banjar “Urang Banjar”, suku yang mendiami dan berkonsentrasi di Provinsi Kalsel, Kalteng, dan Kaltim, mereka merupakan percampuran orang-orang melayu Bahan, Barito, Tabanio dan Martapura yang jejak akarnya dari Sumatera. Suku Banjar dibagi menjadi tiga sub suku, yaitu suku Banjar Pahuluan, Suku Banjar Batang Banyu, dan Suku Banjar Kuala. Suku Banjar Pahuluan merupakan penduduk di daerah-daerah lembah sungai yang berhulu ke Pegunungan Meratus (campuran melayu dan dayak). Sedangkan Suku Banjar Batang Banyu mendiami lembah Sungai Negara (campuran melayu, dayak dan pendatang dari Jawa). Sementara itu, Suku Banjar Kuala mendiami sekitar Banjarmasin serta Martapura (campuran melayu, dayak dan pendatang dari Jawa). Karena merupakan kombinasi dari orang-orang melayu, bahasanya pun terkontaminasi antara bahasa Melayu, Dayak dan Jawa. Ada persamaan kata yang dipakai antara Bahasa Banjar dengan Bahasa Jawa, antara lain: Banyu (air), Lawang (pintu), Inggih (ya/ setuju). Kata itu sama yang di pakai di Bahasa Jawa bukan??? Agama mayoritas di Kota Seribu Sungai adalah beragama islam jadi banyak dijumpai Masjid di sini.

Ingat kepada Allah SWT mebentukku mencintai apa yang ku punya dan mensyukuri pemberianNya. Sampai detik ini menulis artikel, masih saja aku menyesuaikan diri dengan iklim di Kota Seribu Sungai. Berada di bagian tenggara Pulau Borneo, memiliki kawasan dataran rendah di bagian barat dan pantai timur, serta dataran tinggi yang dibentuk oleh Pegunungan Meratus di tengah. Dataran rendah berupa lahan gambut hingga rawa-rawa sehingga banyak sumber daya ikan air tawar di sini, antara lain: ikan haruan, sepat, bilis, dll. Sedangkan di dataran tinggi merupakan hutan konservatif berupa hutan tropis yang dilindungi. Jika cuaca panas, teriknya matahari menyengat tak heran jika kebakaran hutan tiba-tiba terjadi di sini seperti yang terjadi di bulan Agustus-Oktober 2014 lalu, menyebabkan polusi udara di mana-mana. Namun jika pada musim hujan, intensitas air begitu derasnya dan sebelum turun jujan membentuk gumpalan awan yang kelam diiringi angin yang dingin, kemudian cuaca tiba-tiba dapat berubah menjadi cerah seketika. Itulah uniknya Borneo.

                   Mengapa disebut Kota Seribu Sungai?? Dan tak heran jika orang-orang menyebutnya daerah basah. Provinsi ini terdiri dari 13 Kabupaten/ kota, dan tiap kabupaten terdapat sungai yang beraneka macam namanya, baik sungai kecil maupun sungai besar membentuk labirin atau kanal-kanal. Aku memetik pelajaran yang berharga ketika menyusuri sungai besar Martapura, berangkat dari halte perahu klotok di daerah Museum Wasaka Port “Waja Sampai Kaputing-Kayuh Baimbai” (Berusaha sampai Tuntas, tidak boleh putus asa karena dikerjakan dengan bergotong royong). Tujuannya untuk mengekspolari apa yang tidak aku ketahui disepanjang sungai Martapura yang lebar nan panjang. Museum ini berada di bawah jembatan panjang Banua Anyar yang melentang kokoh dan bertengger di atas Sungai Martapura.
Di dalam museum disuguhkan peninggalan-peninggalan perjuangan rakyat Kota Seribu Sungai melawan penjajah kala itu, terdapat miniatur/ diorama, senjata tradisional, pakaian perang, dll. Museum Wasaka memiliki banguna panggung yang kokoh, terbuat dari pondasi kayu ditambah terletak dipinggir sungai menambah uniknya arsitektur, juga jendela-jendela kayu yang besar menakjubkan ketradisionalnya.
Museum Wasaka Port Waja sampai kaputing

                Dari Museum Wasaka Port, aku melanjutkan perjalanan menyusuri Sungai Martapura, dari halte perahu kelotok di depan Museum kami menyewa perahu seharga Rp 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah), perahu kelotok yang bisa diisi 10-15 orang itu membawaku berpetualang. Sungai yang tenang tapi berarus deras itu berwarna keruh, namun di dalamnya menyimpan keaneka ragaman hayati yang luar biasa selain digunakan sebagai sarana transportasi air yang cukup memadai. Di samping kanan kiri tepi sungai masih terlihat rumah penduduk, ada yang kokoh dan ada juga yang sudah reot, semua memakai rumah panggung berpondasikan kayu ulin. Masyarakat di sini menggunakan air sungai untuk keperluan sehari-hari seperti mencuci, mandi, dan bermain, bahkan dimanfaatkan untuk sarana olahraga dayung, SubhanaAllah. Setelah berjalan sejauh 1,5 kilometer perahu kelotok itu berhenti di salah satu pasar terapung tradisional Lok Baintan. Aktifitas jual beli di pasar dilakukan di atas perahu sampan “Jukung”, kebanyakan yang dijual berupa buah-buahan tropis, sayuran, jajanan tradisional dan tanaman hias. Hikmah yang luar biasa dipetik setelah apa yang dilihat adalah semua penjual itu “Perempuan”. Perempuan mendayung jukung di sungai lebar berarus deras, menyetir agar perahunya mendekati pembeli kemudian menjaga keseimbangan antara tubuh dan barang dagangannya, itu luar biasa!!!! Perempuan-perempuan Suku Banjar mengajariku apa itu ketangguhan. Mereka melakukan itu demi masa depan; demi menjemput rejeki dari Allah SWT; demi nikmat kesabaran dari Allah SWT akan kerja keras, pantang menyerah dan mencintai keluarga; demi menikmati kehidupan yang sudah disuguhkan Allah SWT.
Pasar Apung Lok Baintan

                Teringat akan sosok ibu yang jauh di tanah Jawa, yang kadang menutupi keadaan sesungguhnya. Begitu macam pertanyaan erotis di otak dan perasaanku, “Apakah kau baik-baik saja di sana? Bagaimana perasaanmu?” Ku lihat salah satu penjual buah jeruk yang sudah tua renta sekitar 70 tahun, bisa jadi beliau seumuran dengan nenekku, kulitnya yang mengendur meminta perasaanku untuk mendekatkan perahu kelotok ke arahnya. Wajahnya yang dipupuri bedak adem (bedak dari tepung beras) dan melihat senyumnya penuh ikhlas dibalik kerudung. Sayup matanya yang lugu membuatku membalas senyumnya. Sistem mereka berjualan tidak mengenal per ons, per gram, atau per kilo melainkan per buah. Satu buah dijual Rp 1.000,-, bikin geleng-geleng bukan?? Tangan-tangan kuat mereka patut diacungi jempol, bagaimana jika wanita indonesia kuat seperti itu, mencerdaskan anak-anak dengan kesabaran, menyayangi dengan keikhlasan, pasti suatu saat indonesia akan maju dengan kecepatan perkembangannya yang mumpuni.
                Meneruskan perjalanan di sungai yang berkelok-kelok, kanan kiri sungai tertutup pohon rumbia, ketakutan akan binatang yang tiba-tiba muncul, ahhhh itu hanya pikiran negatif saja. Tak lama kemudian, aku tiba di desa Alalak, di sini lah pusat pengolahan kayu-kayu Borneo berada, banyak kapal-kapal tongkang yang mengangkut batu bara serta kayu. Masih mimpi aku berada di sini, ini lah Borneo?? Aku berpetualang!! My Trip My Adventure (seperti program acara di salah satu station televisi). Mataku terbuka lebar, bahwa Allah SWT memberiku kesempatan yang luar bisa untuk mensyukuri ciptaanNya. Agar aku menambah wawasan, pengalaman, dengan keikhlasan, aku yang berwibawa tanpa menggerutu ini itu.
Alalak, Kecamatan Barito Kuala

Setelah melewai hilir sungai Martapura barulah sampai ke Sungai Barito, tibalah aku di Sungai yang luas, lebar, bikin kaki tangan bergidik, seperti lautan keruh cokelat susu tanpa batas, berarus deras dan berombak, banyak kapal tongkang berlalu lalang, ini itu laut atau sungai pikirku!!! Sungai Barito ya ya ya sungai Barito dengan panjang 900 Km, lebar kurang lebih 730 M dengan kedalaman 14-15 meter, Subhanallah, pantas saja merinding jadinya, jangan berharap jika perahu kelotok mesin mati ditengah-tengah atau kehabisan bensin, ngeri sekali, Astagfirullah Haladzim.
                Menujulah aku ke Pulau Kembang, pulau yang terletak di Delta Sungai Barito, kecamatan Alalak, Kabupaten Barito Kuala. Pulau Kembang merupakan Pulau habitat kera berekor panjang, kata orang ada beberapa burung, tapi waktu aku di sana hanya mendengar suara burung yang menyayat hati heheh. Di dalamnya terdapat jalan setapak yang dikelilingi pohon rumbia lebat, banyak kera yang berlalu lalang karena ekosistemnya masih alami, tak heran jika kera-kera itu berkeliaran atau  bergelantungan seenaknya dan kadang bertindak agresif. Kera-kera itu dipimpin oleh kera besar yang biasa disebut tumang dan mereka membentuk suatu koloni, Alhamdulillahnya, aku berjumpa dengan si tumang itu, memang besar sekali lho diantara kera-kera yang lain.
Pulau Kembang
Pintu Masuk Pulau Kembang

Itulah salah satu dari bberapa perjalanan yang bisa membuatku bebas. Allah SWT telah menyajikan segalanya, tapi kadang aku lupa bersyukur, yang ada hanya kegundahan tiada makna. Pasrahkan ke Allah SWT bahwa Dia sudah menyiapkannya yang paling baik untuk kita. Walaupun sebagai manusia biasa, masih diselimuti kegaduhan hati. Merantaulah dengan bijaksana, merantaulah dengan tangguh, merantaulah dengan jujur, merantaulah dengan senang hati. Jika aku belum bertemu denganmu cinta, biarlah cintamu yang menemukanku, dan jika kau mencintaiku karena Allah SWT maka cintamu berlandaskan surga yang akan kau temukan diakhirat.
                Salam kangen dariku dari tanah Borneo untuk mu, untuk kalian dan untuk mereka. Perjalanan ini masih panjang dan penuh harapan, banyak doa-doa yang terbesit, semoga apa yang dicita-citakan dapat terlaksana, dan segala impian akan tepat diberikan sesuai dengan porsinya oleh Allah SWT karena Dia tau apa yang kita butuhkan. Titip Rindu yang menggebu, karena suatu saat pasti akan bertemu. Jangan Gundah, biarkan hatiku yang gundah, jangan menangis biarlah aku yang menagis karena apa?? Karena aku tangguh, karena aku bisa, karena aku Perempuan......